Komunikasi yang empatik bisa juga
dinamakan sebagai membaca pikiran. Biasanya istilah itu diartikan sebagai
membaca pikiran orang lain, walaupun sebenarnya yang kita baca adalah pikiran
kita sendiri. Kita membaca pikiran orang lain melalui pikiran kita sendiri.
gambar dari kompasiana.com |
Tidak ada yang kita baca selain
pikiran kita sendiri di dunia ini. Segala sesuatu yang kita lihat, kita
rasakan, kita dengar, kita baca, kita pahami itu melalui pikiran kita sendiri.
Tidak ada sesuatu pun yang datang begitu saja tanpa melalui saringan di kepala
kita yang kita kenal sebagai jaringan otak. Dan pasangannya di alam nir-ruang
dan waktu kita sebut sebagai “pikiran” atau “mind”.
Pertanyaannya adalah: Bagaimana kita
bisa membaca pikiran orang lain melalui pikiran kita sendiri?
Jawabannya mudah saja. Kita harus
mulai dari awal kembali, membayangkan ketika pertama kali kita mengenal yang
disebut kesadaran. Apakah yang pertama kita sadari itu? Bukankah pertama
kali kita sadar dan mengenali diri kita setelah beberapa saat terlahir di dunia
ini? Bukankah pertama kali yang kita sadari (kenali) adalah orang lain (ibu,
ayah, dan lingkungan)?
Sebagai seorang bayi, kita menyadari
diri kita sebagai orang lain, terutama sebagai ibu kita. Atau lebih tepatnya,
kita sebagai bagian dari ibu kita. Tidak ada yang namanya “ego” itu selain
kebutuhan-kebutuhan fisikal yang dirasakan oleh kita sebagai bayi. Selanjutnya,
segalanya adalah ibu kita, dan kita sebagai bagian dari ibu. Dan apa pun yang
dirasakan ibu kita akan kita rasakan: emosi-emosinya, kegalauannya,
kegembiraannya.
Setelah itu kita akan merasakan apa
yang dirasakan oleh orang-orang di sekitar kita: ayah, saudara-saudari, lingkungan.
Walaupun saat itu kita masih seorang bayi yang belum bisa berkomunikasi dengan
kata-kata. Kita sadar bahwa kita sadar, tetapi kesadaran kita adalah kesadaran
orang lain. Kesadaran yang ada di manusia-manusia dewasa yang berada di sekitar
kita.
Setelah berlalunya waktu, sedikit
demi sedikit lingkungan akan mengajarkan bahwa kita beda, bahwa kita adalah
seorang entitas yang berdiri sendiri. Sebagai manusia modern, inilah
sosialisasi yang kita alami, walaupun kita juga menyadari bahwa banyak manusia yang
budayanya primitif tetap mengalami identitas komunal sepanjang hidupnya.
Sebagai manusia modern kita akhirnya
dibiasakan untuk berpikir bagi diri kita sendiri, menyatakan kebutuhan kita,
mengartikulasikan kepentingan kita. Dan lahirlah “ego”. Ego adalah kita, vis
a vis orang-orang lain. Tetapi ego adalah perkembangan lanjutan dari diri
kita yang asli ketika lahir di dunia ini. Kita lahir tanpa ego. Ego adalah
bentukan budaya, superficial.
Setelah kita dewasa, kita akan
terbiasa untuk berpikir dalam konteks kita versus mereka. Yang kita lihat dan
kita rasakan hanyalah diri kita sendiri karena kita disosialisasi seperti itu.
Tidak ada lagi yang namanya merasakan melalui orang-orang lain itu karena kita
tahu bahwa setelah tahap bayi berlalu, kita harus menghadapi orang-orang lain
sebagai orang lain.
The others
are not me, and I have to state my own interests as opposed to those of the
other’.
Kepentingan saya sebagai entitas
tersendiri dinyatakan sebagai sesuatu yang terpisah dari kepentingan orang-orang
lain: baik orang dekat, orang jauh, lingkungan dekat, lingkungan jauh,
masyarakat, maupun dunia luas. Empati masih ada, karena kita masih bisa
merasakan apa yang dirasakan orang-orang lain itu, kalau kita mau. Tetapi, itu
“tidak normal”. Yang dianggap normal adalah dipertahankannya mode saya versus
orang lain itu.
Saya selalu mengatakan bahwa
komunikasi yang empatik adalah bakat alam dari tiap orang. Artinya, bahwa
komunikasi yang empatik adalah sesuatu yang telah kita miliki sebagai mode awal
dari interaksi kita sebagai manusia ketika terlahir ke dunia. Telah kita
lakukan dengan fasih ketika kita masih bayi dan belum bisa berkata-kata.
Komunikasi Telah mendarah daging ketika segala konsep tentang kepentingan diri
sendiri belum ditanamkan ke diri kita oleh lingkungan budaya tempat kita
dibesarkan.
Susahnya adalah menguraikan benang
kusut antara “saya” dan “mereka” itu. Antara impresi-impresi yang masuk ke
dalam pikiran saya. Impresi-impresi itu tetap sebagai impresi, dan selalu ada
di pikiran saya, tetapi saya kesulitan membedakan impresi itu mengenai saya
atau orang lain. Yang menghalangi tentu saja ego saya yang merupakan konsep
diri saya yang ditanamkan oleh budaya tempat saya dibesarkan. Saya dan Anda
dibesarkan dengan pengertian bahwa ego harus dipertahankan demi kewarasan
pikiran. Kalau tidak, maka akan bisa terombang-ambing antara kepentingan saya
dan kepentingan orang lain yang saya lihat sebagai saya juga.
gambar dari kompasiana.com |
Memang benar akan ada kemungkinan
seperti itu, terutama bagi mereka yang lemah mental. Tetapi di sini saya akan
berbicara tentang hal-hal yang umum dan berlaku bagi semua orang. Bukan tentang
psikologi klinis yang menyelidiki skizofrenia, paranoia, dan sebagainya. Ada
orang yang lemah mentalnya dan tidak bisa melakukan komunikasi yang empatik
tanpa jatuh ke dalam kategori tidak waras dan ada juga orang yang sehat jasmani
rohani serta mampu melakukan komunikasi yang empatik sebagaimana komunikasi
umumnya. Apa adanya dan tanpa dipaksakan.
Secara gamblang, komunikasi yang
empatik adalah mengomunikasikan sesuatu yang kita baca dengan pikiran
kita tentang yang dirasakan orang lain, aspirasinya, ketakutannya,
kepentingannya. Dan itu bisa kita lakukan apabila kita mau kembali menelaah
situasi yang terjadi ketika kita masih bayi sebelum konsep ego ditanamkan oleh
lingkungan kita. Kita akan bisa melihat orang lain seperti kita melihat diri
kita sendiri. Kita akan bisa merasakan orang lain seperti kita merasakan diri
kita sendiri.
Tetapi ada bedanya dibandingkan
dengan ketika kita masih bayi dan belum bisa menerangkan tentang yang kita
lihat dan rasakan mengenai orang-orang lain itu. Sekarang, kita akan bisa
membedakan bahwa sesuatu yang kita lihat itu adalah mengenai orang lain. The
others. Dan bukan kita sebagai diri kita yang merupakan entitas terpisah
dari orang-orang lain itu. Ketika kita masih bayi, hal itu tidak bisa kita
lakukan.
You could
give it a try even now! Try to think and feel as if you were somebody else:
your close friend, your mate, your brother, sister, neighbor, anybody. Ucapkanlah, tuliskanlah … cobalah
dicocokkan dengan orangnya. Dan Anda telah melakukan komunikasi yang empatik!
Di bagian atas telah saya tuliskan
bahwa tahap pertama dalam penguasaan komunikasi yang empatik adalah dengan
mencoba membayangkan diri kita sendiri sebagai orang lain. Seolah-olah kita
adalah orang lain itu. Caranya memang mudah, dan bahkan tahap-tahap selanjutnya
juga sama mudahnya.
Tahap berikutnya dijalankan dengan
melakukan osmosis. Osmosis adalah istilah ilmu alam yang berarti menyamakan isi
dari sesuatu yang kosong dengan sesuatu yang berisi. Kalau saya selembar kertas
kosong, dan di sebelah saya ada selembar kertas lain yang berisi
tulisan-tulisan, maka isi kertas itu bisa berpindah ke kertas kosong di
sebelahnya.
Maksud istilah itu adalah penyerapan
pengetahuan dari seseorang tanpa melalui cara-cara umum; tanpa perlu diajari
secara formal, walaupun tetap harus ada komunikasi intensif. Cara melakukan
osmosis bukanlah sesuatu yang aneh bagi kita manusia-manusia normal, karena
kita sudah melakukan osmosis itu sepanjang hidup kita?
Bukankah kita sudah menyerap segala
nilai budaya masyarakat kita tanpa merasa mempelajarinya secara
sungguh-sungguh: dari orangtua kita, teman, dan semua yang kita temui sepanjang
hidup kita? Kita telah melakukannya sejak kita menyadari bahwa kita memiliki
kesadaran sebagai sebuah entitas.
Tidak ada cara lain bagi kita dalam
mempelajari sesuatu secara mendalam kecuali melakukan osmosis.. Osmosis dari
dosen-dosen pengajar, atau penulis yang kita kagumi. Segala teknik yang
dipelajari itu cuma pengisi waktu saja, sebagai bukti empirik bahwa ada metode
yang diajarkan dan dipelajari. Tetapi untuk bisa dan memahami mau tidak mau
kita harus melakukan osmosis.
Setelah osmosis itu kita jalankan,
dengan mudah kita akan bisa mengembangkan teknik kita sendiri, bahkan
pengertian kita sendiri.
Mungkin apa yang saya tulis kali ini
terasa mengejutkan bagi sebagian rekan-rekan. Mungkin juga ada sebagian rekan
yang telah bisa meraba secara intuitif bahwa pada akhirnya saya akan menuliskan
hal ini juga, apa pun konsekuensinya.
Pertama, seperti disebutkan
sebelumnya, kita bisa memulai komunikasi yang empatik dengan cara membayangkan
diri kita sebagai orang lain itu: teman, pasangan hidup, atasan, bawahan,
kolega bisnis, dsb. Dan kedua, dengan mulai melakukan osmosis dari orang-orang
yang kita anggap telah mahir melakukan komunikasi yang empatik.
Segala percakapan dengan menggunakan
bahasa sehari-hari ini adalah komunikasi yang empatik dengan aliran-aliran
osmosis dari alam bawah sadar orang yang satu ke bawah sadar orang yang satunya
lagi. Dan bergerak kembali dengan input, output, dan feedback yang
tidak berkesudahan. Hasil akhirnya adalah pemenuhan isi dari seseorang yang
tidak memiliki dengan isi dari orang yang memiliki. Osmosis selalu berlaku dua
arah.
gambar dari parstoday.com |
Nah, bukankah osmosis ini sesuatu
yang natural bagi kita? Kita telah melakukannya sepanjang hidup kita. Waktu
kuliah, kita bisa menangkap maksud hati seorang dosen hanya dengan
mengamatinya. Waktu masih pacaran, kita bisa tahu bahwa pacar kita serius atau
tidak dalam berhubungan dengan kita. Setelah menikah, kita bahkan bisa tahu
kalau pasangan kita hanya mempertahankan formalitas belaka karena segala desir
romantik telah habis terpakai.
Jadi, komunikasi yang empatik juga
mengandalkan osmosis yang tidak berkesudahan ini antara kita dan orang-orang
yang kita ajak berkomunikasi. Kalau Anda merasa perlu melakukan osmosis dari
saya, that’s fine too. Aturlah waktu untuk bertemu dengan saya atau
saling berkirim e-mail dan SMS! Bisa juga melalui chatting atau
bahkan cukup dengan hanya membaca tulisan-tulisan saya.
Sesederhana itu. Tetapi, tentu saja
masih banyak lagi pernak-perniknya. Sekali bertemu saja tidak cukup, sekali
membaca saja juga tidak cukup. Anda perlu bertemu atau membaca berulang-ulang
untuk bisa menangkap esensi komunikasi itu.
(Pelangiku Warna Ungu, L. Rimba)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar